Rabu, 01 Juli 2009

ASPEK POLITIK DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BAB V
ASPEK POLITIK

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah adalah persoalan politik. Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, umat Islam diwaktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam lainnya, pindah ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota Nabi.

Di kota ini keadaan Nabi dan Umat Islam mengalami perobahan yang besar. Di Medinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.

Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Dari sejarah pengganti beliau yaitu:
  • Abu Bakar, dengan memakai gelar Khalifah, yang arti lafzimnya ialah Pengganti (Inggeris : Successor).
  • Umar Ibn Al-Khattab
  • Usman Ibn Affan
Pada masa pemerintahannya mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir.
  • Ali Ibn Abi Talib
Kekhalifannya ditentang oleh Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan kedua datang dari Mu'awiah, gubernur Damaskus dan anggauta keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan: Mu'awiah juga tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemuka pemberontak, Muhammad, adalah anak angkat Ali.

Antara kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tetapi akhirnya terjadi perdamaian dengan mengadakan hukam yaitu arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn Al-Aas dari pihak Mu'awiah dan Abu Musa Al-Asy'aru dari pihak Ali. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu'awiah. Abu Musa mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan Mu'awiah. Mu'awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan Gubernur kini telah naik derajatnya menjadi Khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak diterima Ali dan tak mau meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 661 M.

Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan arbitrase tidak disetujui oleh sebagian dari tentaranya. Tentara ini ke luar dari barisan Ali. Mereka terkenal dalam sejarah dengan nama Khawarij, itu orang-orang yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu'awiah. Mu'awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah wafatnya Ali ia dengan mudah dapat memperkuat kedudukannya sebagai Khalifah di tahun 4661 M.

Dari sejarah ringkas di atas dapat dilihat bahwa pada waktu itu telah timbul-tiga golongan politik, golongan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Ali yaitu Kaum Khawarij dan golongan Mu’awiyah, yang kemudian membentuk Dinasti Bani Ummayah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam. Khalifah (pemerintahan) yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, merupakan republik, dalam arti, Kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun.

Sebagai diketahui Khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Abu Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan umat, yang dalam istilah Arabnya disebut bay'ah ( ).




Khalifah kedua, Umar ibn Al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian pula Khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan khalifah keempat Ali Ibn Talib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sahabat Nabi sehingga hubungan mereka merupakan hubungan persahabatan.

Demikianlah ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabat-sahabat Nabi Muhammad itu menjadi Khalifah yang dipakai dalam pemerintahan demokrasi. Kaum Khawarij berpendapat mereka khilafah (jabatan Kepala Negara) bukanlah hak monopoli dari suku Quraisy. Kaum Khawarij dalam sejarah pecah menjadi beberapa kelompok, perbedaan faham mereka berkisar sekitar masalah-masalah teologi.
Kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ).



Mereka disebut Syi'ah Dua belas karena mereka mempunyai duabelas Imam Nyata ( ).



Imam Pertama sudah barang tentu Ali Ibn Abi Talib sedang Imam Keduabelas adalah Muhammad Al-Muntazar.



Pada Muhammad Al-Muntazar berhenti rangkaian Imam-imam Nyata, karena Muhammad tidak meninggalkan keturunan. Muhammad, sewaktu masih kecil, hilang di dalam gua yang terdapat di Mesjid Samarra (Iraq). Menurut keyakinan kaum Syi'ah Duabelas. Imam ini menghilang buat sementara dan akan kembali lagi sebagai Al-Mahdi untuk langsung memimpin umat. Oleh karena itu ia disebut Imam Bersembunyi ( )



atau Imam Dinanti, ( )


Selama bersembunyi ia memimpin umat melalui Raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi'ah. Syi'ah Duabelas menjadi faham resmi di Iran semenjak permulaan abad ke-enam belas, yaitu setelah faham itu dibawa ke sana oleh Syi'ah Ismail.

Di samping Syi'ah Duabelas ada pula Syi'ah Ismailiah. Imam imam mereka sampai dengan Imam Keenam masih sama dengan - Imam-imam Syi'ah Duabelas. Perbedaan mulai timbul pada Imam Ketujuh.

Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali Zain Al-Abidin, mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari keturunan Ali dan Fatimah. Demikian faham mereka. Syi'ah Zaidiah dalam sejarah membentuk kerajaan di Yaman dengan San'a sebagai ibu kota. Beberapa tahun yang lalu bentuk kerajaan ini dirobah menjadi republik, setelah terjadinya revolusi di negara itu.

Di samping ketiga golongan besar ini, masih ada golongan-golongan kecil seperti Syi'ah Saba'iah, pengikut Abdullah Ibn Saba', Syi'ah Al-Ghurabiah, Syi'ah Kisaniah, pengikut Al-Mukhtar Ibn Ubaid Al-Tsaqafi dan Syi'ah Al-Rafidah.

Jadi, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah adalah persoalan politik. Teori politik yang pertama timbul dari perkembangan politik dalam sejarah Islam ialah mengenai jabatan Kepala Negara. Di zaman Nabi Muhammad jabatan itu mempunyai bentuk yang unik karena dalam diri Nabi terdapat dua kekuasaan, kekuasaan spirituil dan kekuasaan sekuler. Beliau sebagai Rasul secara otomatis menjadi Kepala Negara.

Siapa yang berhak menjadi Kepala Negara sebagai pengganti beliau dan bagaimana cara pengangkatannya, itulah yang menimbulkan perbedaan faham di bidang politik dalam Islam.

Kaum Khawarij berpendapat bahwa yang berhak untuk menjadi Kepala Negara ialah semua orang Islam dan cara penentuan dan mengangkatan ialah pemilihan. Syi'ah berpendapat bahwa hanya keturunan Ali yang berhak menjadi Kepala Negara dan hak itu bersifat turun-temurun. Ahli Sunnah berpendapat bahwa hak itu dimiliki oleh suku Quraisy dan pengangkatannya ialah melalui pemilihan. Tetapi di samping itu ada pula yang menyetujui penentuan melalui keturunan.

Sementara itu timbul pula perbedaan faham tentang sifat dan kekuasaan Kepala negara. Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Fatimiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad, sebelum beliau wafat, telah menentukan Ali sebagai penggantinya. Dalam istilah Syi'ah. Ali adalah wasi ( )




Nabi Muhammad, yaitu pengganti yang kepadaya dilimpahkan Nabi sepenuh kepercayaan. Wasi sesudah Ali adalah Hasan, kemudian Husein dan seterusnya cucu-cucu Nabi.
Syi'ah Zaidiah berpendapat bahwa Imam tidaklah ditentukan Nabi orangnya, tetapi hanya sifat-sifatnya. Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ),




Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh juga menjadi Imam. Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang kedua disebut Imam mafdul ( ).




Menurut Al-Mawardi syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi Khalifah atau Imam, selain kesukuan Quraisy antara lain adalah sifat-sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat mental dan fisik, berani dan tegas. Imam dipilih oleh orang-orang yang berhak untuk memilih ().



Sifat-sifat yang diperlukan untuk menjadi pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi Khalifah, dan kesanggupan untuk menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak untuk menjadi Kalifah di antara calon-calan yang ada. Pemilih-pemilih itu disebut ahl al hal waal aqad ( )


yaitu orang-orang yang dapat menentukan. Dengan mendapat bay'ah (pengakuan).
Al-Ghazali, berpendapat, bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim. Al-Ghazali mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali, lebih mengutamakan ketertiban dalam masyarakat daripada pemerintahan yang zalim.

Al-Farabi dalam bukunya AI-Madinah AI-Fadilah ( )



Negara Terbaik menguraikan bahwa negara terbaik ialah negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai oleh seorang filosof.
Ibnu Sina berpendapat bahwa negara terbaik adalah Negara yang dipimpin Rasul dan sesudah itu negara yang dipimpin filosof, Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (Syari'ah) mementingkan soal spirituil dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil.






BAB VI
LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN

Islam dalam sejarah, mengambil bentuk negara. Sebagai Negara Islam sudah barang tentu harus mempunyai lembaga-lembaga kemasyarakataan seperti pemerintahan; hukum, pengadilan; polisi; pertahanan dan pendidikan.
Masyarakat-masyarakat pada masa sejarah Islam, yaitu:
  • Orang Arab, yaitu masyarakat Islam yang pertama
  • Mawali, yaitu gabungan orang-orang bukan Arab masuk Islam dengan salah satu suku bangsa Arab.
Kaum Mawali dalam prakteknya mempunyai kedudukan lebih rendah dari orang Arab. Kedudukan Mawali yang lebih rendah itu di Persia pada akhirnya membawa kepada gerakan syu'ubiah, suatu gerakan yang dekat menyerupai gerakan nasionalisme dalam arti modern. Dengan gerakan syu'ubiah itu, orang-orang Persia ingin menonjolkan kebudayaan lama mereka kembali dan membuatnya mempunyai kedudukan yang sederajat dengan kebudayaan Arab.
  • Ahl al-zimmah ( )



yaitu pemeluk agama agama lain yang memilih tetap tinggal di bawah naungan Islam dengan membayar jizyah ( )



yang dapat diartikan pajak naungan. Masyarakat dan daerah yang diatur negara Islam dimasa yang lampau, yaitu dibagi kedalam beberapa propinsi. Misalnya di zaman kejayaan Bani Usman (Kerajaan Ottoman) jumlah propinsi bertambah banyak dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam ke benua Eropa.

Sebagaimana dalam Bab V, negara Islam dikepalai oleh seorang Khalifah, baik dalam bentuk Kepala Negara yang dipilih maupun dalam bentuk Raja yang jabatannya mempunyai sifat turun-temurun. Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Khalifah dibantu oleh seorang wazir yang menjadi pembantu utama, penasehat dan tangan kanannya. Di bawah wazir terdapat beberapa diwan (departemen) umpamanya Diwan Al-Kharaj ( ),



Departemen Pajak Tanah, Bait Al-Mal / Departemen Keuangan, Diwan Al-Jaisy ( )



(Departemen Pertahanan) dan lain sebagainya. Tiap Diwan dipimpin oleh seorang kepala. Rapat para Kepala Diwan diketuai oleh Wazir. Dengan demikian Wazir pada hakikatnya mempunyai kedudukan Perdana Menteri. Di samping Wazir terkadang terdapat pula Hajib (Kepala Rumah Tangga Istana).

Di ketika menurunnya prestise dan kekuasaan Khalifah di zaman Bani Abbas, pembesar yang berkuasa di pemerintahan pusat bukan lagi Wazir atau Hajib, tetapi Amir Al-Umara' (Kepala Panglima) atau Sultan.

Kepala Daerah pada mulanya diberi nama ‘Amil, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Amir. 'Amil lebih banyak mempunyai tugas mengumpulkan zakat, sedangkan Amir adalah panglima. Selanjutnya juga dipakai kata Wali dan Hakim. Di tangan Kepala Daerah-lah terletak pemerintahan daerah dan karena komunikasi dengan ibu kota sulit, para Kepala Daerah mempunyai kekuasaan otonom yang bukan Kecil. dalam hubungan dengan pusat pemerintahan, tugas mereka yang terpenting adalah mengumpulkan zakat dan pajak untuk dikirimkan kepada Khalifah.

Dalam prinsipnya, Kepala Daerah diangkat atas putusan Khalifah, tetapi dengan berkurangnya kekuasaan Khalifah dan timbulnya dinasti-dinasti, pada mulanya di daerah-daerah yang jauh, tetapi kemudian juga di daerah-daerah yang dekat dengan Pusat, jabatan Kepala Daerah mempunyai sifat turun-temurun. Khalifah hanya memberikan pengakuan formil kepada mereka. Di antaranya ada yang tetap memakai titel Amir, tetapi ada pula yang mempergunakan gelar Sultan (seperti Dinasti Salahuddin dan Mamluk) dan Amir Al-Muslimin (seperti Dinasti Al-Murabit) di Afrika Utara.

Keuangan negara bersumber terutama pada kharaj, pajak yang dipungut atas tanah. Kharaj dikumpulkan oleh Kepala Daerah dan setelah memotong perbelanjaan yang diperlukan oleh daerahnya, sisanya dikirim ke pusat. Begitu pentingnya pajak ini sehingga di pemerintahan pusat terdapat suatu departemen khusus untuk mengurusnya, yaitu Diwan Al-Kharaj. Di samping kharaj adalagi zakat yang dibayar oleh warga negara yang beragama Islam, dan jizyah yang dipungut dari warga negara bukan Nam. Semua penghasilan itu dikumpulkan di Bait Al-Mal.

Penerimaan dan pengeluaran negara dikontrol oleh suatu departemen khusus yang diberi nama Diwan Al-Nafaqat ( )



atau Diwan Al-Azimmah ( ).




Hubungan antara pusat dengan daerah dan sebalikuya dilakukan dengan pos (al-barid - ).


Sistem pos ini dimulai oleh Mu'awiah dan berkembang di masa Bani Abbas, sehingga merupakan satu departemen yang diberi nama Diwan Al-Barid. Kepala Departemen ini disebut Sahib Al-Barid ( )


Berlainan dengan pos modern, Al-Barid pada umumnya mengurus korespondensi negara dan hanya sedikit mengurus korospondensi rakyat. Alat yang dipakai untuk pengangkutan adalah kuda, onta dan keledai. Untuk pengiriman sutat-surat dipakai juga burung dara. Al-Barid juga dipergunakan untuk mengangkut pasukan ke tempat yang mereka tuju dan pejabat-pejabat yang baru diangkat ke tempat kedudukannya.
Sahib Al-Barid, di samping tugas mengurus pos negara, juga mempunyai tugas mengepalai urusan intelijen. Oleh karena itu nama lengkap dari Kepala Departemen Pos ini ialah Sahib Al-Barid wa Al-Akhbar ( )



Kepala Pos dan Intelijen.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai pengganti Nabi dalam mengurus soal duniawi umat, Khalifah bukan hanya merupakan Kepala Negara, tetapi juga Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dalam fungsinya ini ia disebut Amir A1-Mu'minin ( ).


Jabatan-jabatan yang terdapat dalam Angkatan Darat ialah Amir (Jenderal), mengepalai unit yang berjumlah sepuluh ribu orang qa'id mengepalai seratus, khalifah mengepalai lima puluh dan 'arif memimpin sepuluh prajurit. Tentara tersusun dari harbiah (infantri), ramiah (pemanah) dan fursan (kavaleri),
Dalam rombongan tentara terdapat pula insinyur, dokter, qadi atau hakim untuk mengurus soal pembagian harta perang, penunjuk jalan (raid) untuk mengurus soal perkemahan, penterjemah dan juru tulis.

Di samping Angkatan Darat, Kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau juga mempunyai Angkatan Laut.

Pendidikan dalam sejarah Islam pada mulanya diberikan di mesjid, tetapi kemudian di sekolah-sekolah yang disebut kuttab atau madrasah. Ini merupakan sekolah dasar di mana anak-anak diberi pelajaran membaca serta menghafal Al-Quran, riwayat hidup Nabi Muhammad, nahwu, sharaf, berhitung dan menulis. Kalau sekolah serupa ini adalah untuk orang umum, Khalifah dan orang-orang kaya menggaji guru untuk memberi pelajaran pada anak mereka di istana atau di rumah.

Pendidikan tinggi dibentuk juga di lembaga-lembaga lain seperti Bait Al-Hikmah Di Coruova Abd Al-Ra.hman III mendirikan Universitas Cordova Untuk menampung Universitas itu Mesjid Besar Cordova diperbesar. Di tahun 972 M Mesjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Fatimi Jawhar Al- Saqilli di Cairo yang beberapa tahun kemudian dijadikan Universitas oleh Khalifah Al-Aziz (975 - 996 M). Sebagai diketahui sampai sekarang Al-Azhar masih ada dan altan merayakan ulang tahunnya yang keseribu dalam waktu dekat.

Pendidikan non-formil untuk dewasa diberikan di mesjid. Mesjid pada umumnya juga merupakan tempat kuliah di mana alim ulama mengajarkan tafsir, hadis, bahkan juga bahasa dan sastra Arab.

Selain dari madrasah dan mesjid, perpustakaan juga merupakan tempat mencari ilmu-pengetahuan. filosof. Perpustakaan-perpustakaan dipergunakan juga sebagai tempat diskusi.

Hukum yang dipakai dalam mengatur masyarakat di zaman Kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau bukan hanya hukum fikih, tetapi juga hukum sebagai diputuskan oleh Khalifah atau Sultan. Hukum ini kemudian diberi nama iradah saniyah. Adapula hokum yang dibuat oleh rapat Menteri dengan persetujuan Khalifah atau Sultan dan ini disebut qanun. Qanun mengurus soala-soal administrasi negara dan soal-soal yang mempunyai corak politik seperti pemberontakan, soal pemalsuan uang, pelanggaran hukum, dan sebagainya. Hukum dalam bentuk putusan Khalifah mengurus pertikaian-pertikaian yang biasa timbul setiap hari.

Qanun berkembang di zaman Kerajaan Usmani, terutama di bawah Sulayman I, sehingga ia terkenal dengan nama Sulayman Al- Qanuni. Di zaman Nabi Muhammad kekuasaan legislatif, exekutif dan judikatif terkumpul di tangan beliau.

Dalam penyelesaian perkara-perkara, kalau yang menyelesaikannya ialah Khalifah. Sultan atau Wazir sendiri, maka untuk itu diadakan hari tertentu setiap minggu di Istana; dan kalau yang menyelesaikannya ialah qadi atau nazir mazalim, maka siding diadakan tiap hari. Sidangnya biasanya mengambil tempat di mesjid.

Untuk menjaga keamanan dalam kota dan sebagainya diadakan lembaga kepolisian yang disebut syurtah. Kepalanya adalah sahib alsyurtah dan terkadang disebut juga sahib al-mu'unah atau wali. Tugasnya ialah mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan kriminil, memeriksa pelanggaran-pelanggaran hukum dan menghukum orang yang bersalah. Hukum yang dipakainya dalam hal ini ialah hukum adat setempat.

Berlainan dengan qadi, sahib al-syurtah mempunyai wewenang untuk mengadakan pemeriksaan di luar tempat sidang, umpamanya untuk memeriksa kejahatan kriminil yang betul-betul terjadi atau yang dilaporkan terjadi ataupun untuk memperoleh pengakuan dari tertuduh. Sahib al-syurtah dapat bertindak hanya atas pengaduan dari yang berkepentingan seperti pengaduan tentang pencurian perampasan, penipuan, perzinahan dan sebagainya.

Di samping sahib al-syurtah terdapat seorang muhtasib yang bertugas mengurus soal-soal pelanggaran hukum, yang bersifat lebih ringan dan pelanggaran ajaran-ajaran moral. Yang termasuk dalam bidang tugasnya adalah pelanggaran-pelanggaran mengenai timbangan dan ukuran, penipuan dalam penjualan, penolakan pembayaran hutang, soal riba, pelanggaran tentang minuman keras, permainan judi dan sebagainya. Dalam tugasnya termasuk juga soal pelaksanaan ibadat, seperti pengadaan shalat Jum'at, orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, janda yang tidak memperdulikan waktu iddahnya dan sebagainya. Juga termasuk dalam kekuasaannya soal kekejaman terhadap pembantu rumah, dan binatang piaraan seperti kuda yang kurang diberi makan tetapi diberi beban yang terlalu berat.

Di samping jabatan jabatan tersebut di atas masih ada lagi satu jabatan yang diberi nama mufti. Ahli-ahli hukum Islam selalu mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dari masyarakat. Jawaban yang diberikan ahli hukum itu disebut fatwa dan yang memberi jawaban itu sendiri disebut mufti. Ada mufti yang diangkat Khalifah atau Sultan dan dengan demikian timbullah jabatan mufti yang resmi dalam negara. Fatwa yang diberikan mufti inilah yang menjadi pegangan negara. Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Usmani mufti resmi itu diberi gelar Syaikh Al-Islam. Kalau Syaikh Al-Islam mewakili Khalifah atau Sultan dalam melaksanakan wewenang agamawinya, Sadr Al-A'zam. Perdana Menteri, mewakili Kepala Negara dalam melaksanakan wewenang duniawinya.

Lembaga yang erat hubungannya dengan urusan sosial dalam Islam adalah wakaf. Wakaf mengandung arti penyerahan harta, biasanya dalam bentuk tanah, gedong, rumah dan sebagainya, oleh pemiliknya untuk keperluan-keperluan sosial seperti pembinaan dan pemeliharaan madrasah, rumah sakit, jembatan, asrama, persediaan air untuk umum dan sebagainya. Harta yang diwakafkan diurus oleh orang atau yayasan yang ditunjuk oleh pemberi wakaf dan penghasilan harta itulah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan sosial tersebut di atas. Sistem wakaf ini tersebar luas di iunia Islam di masa yang lampau dan sampai sekarang masih terdapat di beberapa negara. Administrasinya kemudian diambil oleh negara untuk itu diadakan Wizarah Al-Awqaf (Kementerian Urusan Wakaf). Di Mesir Wizarah Al-Awakaf inilah yang mengurus soal-soal mesjid, pembinaan serta pemeliharaannya, termasuk dalamnya soal pengangkatan dan gaji imam, muazzin dan pegawai mesjid lainnya. Universitas Azhar memperoleh keuangannya dari sistem wakaf ini, dan harta yang diwakafkan untuk Al-Azhar sanggup memberi sumbangan keuangan ataupun bea-siswa kepada para mahasiswa yang belajar di sana, dan mengirim tenaga-tenaga pengajar ke negara-negara Islam lainnya atas tanggungan Al-Azhar sendiri.

Untuk urusan kesehatan telah disebut di atas bahwa wakaf dipergunakan dalam mendirikan dan membiayai pemeliharaan rumah-rumah sakit. Dari semenjak semula dalam sejarah Islam rumah rumah sakit telah didirikan oleh berbagai Khalifah. Khalifah AlWalid (705 -715 M) memberi perintah kepada gubernur-gubernurnya untuk mendirikan rumah-rumah sakit di daerahnya. Bagdad di bawah Harun Al-Rasyid (786 - 809 M) telah mempunyai rumah sakit dan demikian pula Cairo, yang didirikan oleh Ibn Tulun pada tahun 872 M. Nama yang dipakai untuk rumah sakit waktu itu ialah kata Persia bimaristan. Rumah-rumah sakit mempunyai bahagian pria dan wanita.

Di antara rumah-rumah sakit itu ada yang mempunyai perpustakaan sendiri dan ada pula yang memberikan kursus ilmu kedokteran. Di rumah-rumah sakit Bagdad, dokter-dokter kepala dan ahli-ahli bedah memberi kuliah kepada mahasiswa untuk kemudian diuji dan diberi ijazah. Pelajaran diberikan bukan hanya dalam bentuk teori saja tetapi juga dalam bentuk praktikum.

Al-Maristan Al-Mansuri di Cairo yang didirikan oleh Sultan Mamluk Qalawun di tahun 1284 M, mempunyai gedung sekolah kedokteran, mesjid, bagian-bagian untuk berbagai macam penyakit seperti demam panas, disenteri dan sebagainya, laboratorium, apotek, tempat mandi dan lain-lain. Penghasilan wakaf yang disediakan untuk rumah sakit itu berjumlah satu juta dirham per tahun.

Di samping rumah-rumah sakit terdapat pula klinik-klinik yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberi pengobatan kepada masyarakat. Rumah-rumah sakit yang banyak terdapat di dunia Islam mempunyai pengaruhnya, melalui Perang Salib, terhadap pembentukan rumah-rumah sakit di Eropa. Ilmu kedokteran yang ada di dunia Islam pada waktu itu lebih tinggi dari ilmu pengobatan yang dilakukan di Eropa.





Tidak ada komentar: