Sabtu, 03 Januari 2009

HASIL DISKUSI PRM SIDOREJO DAN IJTIHAD SERTA KEMUHAMMADIYAHAN

Bagaimana sejarah keberadaan Muhammadiyah di Sidorejo?
PRM Sidorejo dilantik pada tahun 1964 di rumah Bapak Amat Umar dengan ketuanya Bapak Mustilun. Tahun 1995 Bapak Mustilun digantikan oleh Bapak Sunaryono. Sejak tahun 2004 sampai sekarang PRM Sidorejo dipimpin oleh Bapak Satibi.
Latar belakang terbentuknya PRM Sidorejo, yaitu terpuruknya ajaran islam di sidorejo. Hal tersebut menggugah para tokoh Sidorejo prihatin. Sebab ajaran islam sudah mulai berbaur dengan tradisi masyarakat dengan adanya ajaran animisme, dan dinamisme. Tidak hanya itu saja, tradisi tersebut lama kelamaan terus menerus menggenerasi. Bahkan hal tersebut berkembang dengan adanya paham anti ketuhanan (paham atheisme) yang diperkenalkan oleh PKI.

Tokoh-tokoh masyarakat Sidorejo yang prihatin tersebut kemudian mencoba mengembalikan kembali kemurnian ajaran islam sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Mbah Jalal Suyuti yang berasal dari daerah Mlangsen Wates, Yogyakarta yang telah mengenal Muhammadiyah lebih dahulu. Untuk mengenang jasa Mbah Jalal tersebut oleh masyarakat masjid yang ada di Sidorejo sebelum PRM Sidorejo terbentuk kemudian dikenal dengan nama masjid al Jalal atau masjid Jami’ dan dikenal juga menjadi masjid Mlangsen di kenal dengan Mlangsen karena aslinya dari Mlangsen Wates, Yogyakarta. Berdasarkan pada hal tersebut, sehingga menurut cerita orang-orang terdahulu ajaran Muhammadiyah di Purworejo pertama kali ada di Sidorejo.

Pada awalnya yang dilakukan tokoh masyarakat setelah PRM Sidorejo terbentuk adalah dengan membentuk kelompok pengajian. Misalnya pengajian ibu-ibu setiap rabu kliwon sejak tahun 1982 dan membenahi tempat-tempat ibadah. Pada tahun 1984 diadakan pengajian dengan nama pengajian al Hidayah yaitu setiap malam ahad kliwon, yang merupakan pengajian bapak-bapak (walaupun dalam prakteknya didominasi ibu-ibu). Sejak tahun 1997 pengajian bapak-bapak diganti menjadi setiap ahad wage (sekarang malam ahad kliwon untuk At Taqwa). Dan juga dengan membentuk pengajian kecil secara berkelompok (pengajian mingguan), seperti: At Taqwa setiap malam kamis, al Mutaqin setiap malam senin, al Ikhlas setiap malam jum’at, dan pengajian ibu-ibu pada malam jum’at kliwon.
Pada tahun 1982, banyak anggota PRM yang kerja di instansi Muhammadiyah sehingga dengan kesadaran sendiri membentuk kelompok kumpulan. Pertemuan tersebut kemudian dirintis sejak tahun 1988 yang dilakukan setiap tanggal 3 malam 4. Inti dari pertemuan tersebut adalah santapan rohani dan arisan.

Kegiatan-kegiatan yang lain, misalnya ada TPQ; setiap malam senin ada infaq sosial (misal infaq orang kaya dengan mengadakan pasar murah) dan arisan qurban; forum komunikasi masjid dan mushola; masjid digunakan lebih efektif karena tidak hanya untuk sholat fardhu saja, tetapi juga digunakan untuk sholat tarawih pada bulan Ramadhan, sholat jum’at, sholat ied; pengajian malam 1 muharrom; dan kataman dan muludan di bulan Rajab).

Sasaran dakwahnya, yaitu pendalaman al Qur’an setiap malam senin (seminggu sekali) secara bergiliran, dengan ketuanya Bapak Mustofa Bakir, dan sekretarisnya Bapak Hartoyo. Yang biasanya diadakan dalam wujud arisan (sehingga ada kas yang masuk). Peran kas tersebut untuk kegiatan keagamaan (menyediakan sarana dan prasarana untuk ibadah) dan kegiatan sosial (adanya aktivitas untuk menyediakan kebutuhan saat kematian; menyediakan peralatan masak, kafan, dan keranda).

Model dakwahnya, yaitu:
  • Mencontoh wali songo, misal syahadat lain (sekaten syahadat); penggunaan kata gapura dari kata ghofura yang artinya ampun.
  • Kaderisasi imam dan khatib, dengan cara penggiliran imam khatib setiap ahad kliwon. Dengan tujuan menggantikan orang tua yang sudah tidak mampu, sehingga ada yang meneruskannya.

Adapun Amal Usaha Muhammadiyah di Sidorejo, antara lain:
  • Bersifat spiritual, misalnya pengajian.
  • Bersifat fisik dengan pembangunan masjid.
  • Kegiatan sosial. Asal dana, yaitu swadaya rutin dari kas berupa arisan; dan bantuan dari keluarga (incidental).

Seiring dengan perkembangan zaman dan alasan geografis di wilayah Sidorejo yang heterogen (daerahnya berragam ada yang dataran rendah, dataran tinggi, dan bergunung-gunung) menyebabkan masyarakat perlu untuk membangun tempat ibadah di wilayahnya masing-masing yang dapat dengan mudah untuk dijangkau). Bukti pada awal berdirinya (tahun 1964), di bawah pengurus PRM di Sidorejo ada satu masjid yaitu masjid al Jalal atau masjid Jami’ atau yang sering disebut masjid Mlangsen dan empat mushola, yaitu mushola al Hikmah, al Mutaqin, at Taqwa, dan Darul Aisyah (mushola putri). Tetapi pada tahun 2008 di bawah pengurus PRM di Sidorejo sudah ada tiga masjid, yaitu masjid al Jalal, al Mutaqin, dan at Taqwa dan tiga mushola, yaitu mushola Darul Aisyah, al Hikmah, dan al Ikhlas.


Bagaimana struktur organisasi Muhammadiyah di Sidorejo?

Susunan Pengurus Ranting Sidorejo
Tahun 2008/ 2009

KETUA 1 : Satibi
KETUA II : Muh. Ngadnan
SEKRETARIS I : Hartoyo
SEKRETARIS II : Tugiran
BENDAHARA I : Muntoha
BENDAHARA II : Suwarto, S.Pd.
SEKSI-SEKSI (SEBUTKAN)
Dakwah - Sarifudin
- Hermawanto, S.Pd.
Pendidikan - Sugiharto, B.A.
- Supri Yulianto
Sosial - Kuwat
- Hadi Anhari
Pemuda - Yadik Setyabudi, S. Pd.

Olah Raga - Parwito
- Arif Sulistiyono

Ketua Ranting Sidorejo Sekretaris

( SATIBI ) ( HARTOYO )
NBM. 550.161 NBM. 587.231


KETERANGAN: yang dimaksud ranting aktif yaitu ranting yang memiliki jadwal pengajian rutin.

DAFTAR ANGKET
AKTIFITAS MUHAMMADIYAH KECAMATAN PURWOREJO TAHUN 2008
RANTING SIDOREJO

Jumlah penduduk : 1.824 orang
§ Islam : 1.555 orang
§ Warga Muhammadiyah (NBM) : 30 orang
§ Warga Muhammadiyah (belum ber NBM) : 30 orang
§ Simpatisan : 30 orang
§ Kristen : 173 orang
§ Katholik : 6 orang

Jumlah tempat ibadah : 10 buah
§ Masjid (dikelola warga Muihammadiyah) : 3 buah
§ Mushola (dikelola warga Muhammadiyah) : 1 buah
§ Masjid (tidak dikelola Muhammadiyah) : 1 buah
§ Mushola (tidak dikelola Muhammadiyah) : 3 buah
§ Pondok Pesantren (Muhammadiyah) : - buah
§ Pondok Pesantren (bukan Muhammadiyah) : - buah
§ Gereja : 2 buah

Jumlah tokoh agama
§ Muhammadiyah : 3 orang
§ NU : 2 orang
§ Kristen : 4 orang

Biodata Muballigh Muhammadiyah

NO NAMA UMUR PENDIDIKAN PEKERJAAN
1. SAIRI MUHTAR 55 tahun
2. DRS. MUSTOFA BAKIR 44 tahun
3. SATIBI 52 tahun
4. HERMAWANTO, S.Pd. 29 tahun

Keaktifan Pengajian
§ Mingguan : 3 kali
§ Tengah bulanan : - kali
§ Bulanan : 2 kali
§ Jenis pengajian (siraman Rohani, kajian) : - kali
§ Pengajian anak-anak : 6 kali


Apa saja kekuatan dan kelemahan dakwah Muhammadiyah di Sidorejo?
Kekuatan dakwah Muhammadiyah di Sidorejo
- Adanya dana.
- Banyak orang yang bekerja di instansi Muhammadiyah sehingga orang tersebut mempunyai kewajiban untuk mengembangkan muhammadiyah.

Kelemahan dakwah Muhammadiyah di Sidorejo
  • Ada anggapan masyarakat bahwa ajaran Muhammadiyah berbeda karena ajarannya mengambil hukum yang paling soheh.
  • Melegendanya TBC (Tahayul, Bidah, dan Churafat) dengan adanya animisme dan dinamisme.
  • Adanya penduduk yang non islam, terbukti dengan adanya 2 gereja di Sidorejo.
  • Dianggap beda dengan situasi lain yang telah berkembang lebih dahulu di masyarakat.
  • Cara berdakwahnya dengan mengalihkan dan menyisipi tradisi yang sudah ada di dalam masyarakat dengan cerita menggunakan pengetahuan agama sesuai dengan ajaran islam yang benar sedikit demi sedikit secara terus menerus dengan dihubungkan dengan intelektual untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam berdasarkan Al Quran dan Al Hadist.
Bagaimana keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di Sidorejo?

Keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di Sidorejo, insya ALLAH akan tetap lestari, karena dengan model dakwah seperti wali songo, yaitu kaderisasi imam dan muadzin secara bergiliran memungkinkan generasi muda untuk meneruskan perjuangan Muhammadiyah para generasi tua yang sudah tidak mampu. Hal tersebut terbukti dengan bertambahnya warga Muhammadiyah di Sidorejo dari tahun ke tahun.



IJTIHAD

Apakah ijtihad itu?
Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan: “..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan” (at-taubah:79).
Kata al-jahd beserta seluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian ini Nabi mengungkapkan kata-kata: “Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’” artinya:” Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Menurut istilah (kelompok mayoritas/ushuliyyin) ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Sedangkan sahabat Nabi memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  • Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
  • Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
  • Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379). Sedangkan Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.

Definisi Ijtihad
Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm.114). Ijtihad juga bermakna, “Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men-tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan). (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II/309).

Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan.
Suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i (pasti).
Ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât).
Ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan.

Lingkup Ijtihad
Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil-dalil dhanni. Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni.
Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-qur'an dan Al- Sunnah.

Syarat-syarat Mujtahid
  • Memahami dalil-dalil sam‘i (naqli), yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum.
  • Memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).

Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad
  • Sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad. Padahal orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad.
  • Dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam.
  • Dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri dari pendapat lain.

Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode antara lain sebagai berikut :
  • Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama.
  • Ijma’
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah.
  • Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
  • Al-Mashlahah Al-Mursalah
Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits.

Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
  • Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
  • Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
  • Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
  • Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
  • Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan

Posisi tujuan, dan fungsi ijtihad
Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Metode, Pendekatan dan Teknik Ijtihad
1. Metode
Bayani (semantik) yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
Ta'lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
Istislahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiah adalah :
Al-Tafsir al-ijtima'i al-ma'asir (hermeneutik)
Al-Tarikhiyyah (historis)
Al-Susiulujiyah (sosiologis)
Al-Antrufulujiyah (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah :
Ijmak yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah.
Qiyas yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama.
Mashalih Mursalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Bagaimanakah Muhammadiyah dan ijtihad?

Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”. Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.

Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:
  • Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.
  • Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.
  • Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.

Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:
  • Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tar­jih.
  • Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.
  • Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).

Ijtihad sebetulnya artinya pembaharuan. Bagaimana ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan masyarakat?

Kemunculan gerakan pembaharuan pemikiran dalam pemahaman ajaran agama adalah hal yang wajar dan logis, karena budaya manusia selalu berkembang. Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga sangat berpengaruh pada pola pikir manusia, termasuk dalam memahami teks-teks agama. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.

Namun, satu prinsip yang perlu selalu dipegang adalah bahwa pembaharuan itu hendaknya tidak menghilangkan inti dari ajaran agama itu sendiri. Bila inti ajaran agama itu hilang, maka namanya bukan lagi pembaharuan, tetapi perusakan atau penggantian dengan hasil pikiran manusia sendiri tanpa mengindahkan inti ajaran agama yang pada dasarnya berasal dari wahyu Tuhan.

Menelusuri alur pembaharuan pemikiran dalam Islam, bisa dimulai dengan menyimak pembaharuan pemikiran pada tahap pramodernis. Pelopornya adalah Muhammad ibn Abdul Wahab. Dia berpendapat, pada masa itu di kalangan umat Islam sudah banyak terjadi penyimpangan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Oleh karena itu, dia menyerukan kepada umat Islam untuk kembali pada kemurnian dan keaslian ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Hadis. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan masyarakat adalah kembali pada kemurnian dan keaslian ajaran Islam berdasarkan Al- Qur’an dan Al Hadist.


MUHAMMADIYAH

Gerakan Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Biografi Pendiri Muhammadiyah

Kyai Haji Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.

Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.

Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.


Berdirinya Muhammadiyah

Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan atau menghubungkan dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.

Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.

Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”.
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.

Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.

Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum. Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal” yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.

Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan bahwa diskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .

Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.

Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah antara lain: (a) Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
(b) Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
(c) Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
(d) Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; dan
(e) Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Junus Salam, 1968: 33).

Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).

Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amalnya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momumental. Ukuran saat ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”.
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.

Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.


Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.


Lambang Muhammadiyah









Matahari dengan dua belas sinar merupakan simbolisasi prinsip Islam sebagai agama rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata dalam Bahasa Arab “Muhammadiyah” yang berada di pusat matahari mengacu figur sentral dalam penegakan islam, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa salam. Teks syahadat yang mengelilingi cahaya matahari mengacu pada dua kalimat syahadat sebagai dasar keimanan seorang muslim.


Maksud dan Tujuan Muhammadiyah

Persyarikatan Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104: “Hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal.
Itulah sebabnya K.H. Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah:
(1) memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam;
(2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.
Sesudah masa kemerdekaan, tujuan Muhammadiyah diformulasikan menjadi “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (masyarakat Islam yang utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala). Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu'amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-'alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

Amal Usaha Muhammadiyah (AUM)

Muhammadiyah dalam menjalankan gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkarnya selalu berdasarkan kepada ajaran tauhid dan tawakkal kepada Allah, sehingga setiap orang Muhammadiyah dapat menjadi contoh dalam kancah pembangunan dan pengembangan masyarakat. Dalam menjalankan gerakan tersebut Muhammadiyah memiliki beberapa amal usaha. Di antara amal usaha Muhammadiyah meliputi Bidang Kemasyarakatan yang salah satu tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin sebagaimana yang telah menjadi rumusan cita-cita perjuangan Muhammadiyah mengenai "masyarakat utama"[1].

Amal usaha adalah sebuah istilah khas Muhammadiyah yang merupakan sebuah bentuk aktivitas, yang merupakan penjabaran dari usaha atau pola tugas Muhammadiyah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 3 Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.

Aktivitas dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi : aktivitas pimpinan, aktivitas pelayanan dan aktivitas operasional, sedangkan amal usaha adalah aktivitas operasional. Adapun aktivitas operasional dan hasilnya yang merupakan amal usaha, antara lain meliputi bidang: penyiaran Islam (tabligh), pendidikan, baik tingkat dasar dan menengah maupun tingkat tinggi, bidang pembinaan ekonomi dan sebagainya.

Amal usaha adalah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dakwah dan amar makruf nahi munkar. Usaha atau pola tugas yang dirumuskan dalam ART Muhammadiyah pasal 3 tersebut pada hakekatnya adalah merupakan operasionalisasi dari misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Dakwah dan Amar Makruf Nahi Munkar. Sebagai manifestasi dari misi Muhammadiyah, amal usaha yang diselenggarakan dalam berbagai bidang kehidupan, dengan berbagai bentuk kegiatan itu harus mencerminkan dan memiliki wajah dakwah.

Ciri-ciri Amal Usaha Muhammadiyah:
  • Dapat mempersubur tumbuh kembangnya keyakinan tauhid yang murni.
  • Merupakan realisasi dari ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah.
  • Menjadi sarana dakwah dan amar makruf nahi munkar.
  • Menggunakan akal pikiran yang cerdas.
  • Memiliki kualitas dan keunggulan yang dihandalkan.

Perkembangan Muhammadiyah sebelum berdiri sampai dengan pasca berdiri sampai saat ini

Jika diurutkan dari tuntutan peristiwa berdirinya Muhammadiyah, yang pada mulanya berdirinya lebih pada pemberdayaan dalam bidang agama dan pendidikan, maka beda pula antara masa tempo dulu dan sekarang. Bila dulu lahan garapan/ranah Muhammadiyah hanya pada ranah agama dan pendidikan maka seiring jalan ranah pergerakan Muhammadiyah pun tak hanya itu, Muhammadiyah pun mengembangkan sayap dari sang pemikir ke dalam pemberdayaan masyarakat (Sosial Masyarakat) mendirikan banyak AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) seperti PKU, sekolah-sekolah Muhammadiyah, koperasi, rumah sakit, dan sebagainya.
Pada tahun 2005, dengan jaringan struktural 32 wilayah propinsi, 347 daerah kabupaten/kota, dan 2750 cabang, Muhammadiyah merupakan organisasi yang terbesar amal usahanya di Indonesia (bahkan mungkin di dunia?), dengan memiliki:
1128 sekolah dasar (SD),
1768 madrasah ibtidaiyah (MI),
1180 sekolah menegah pertama (SMP),
534 madrasah tsanawiyah (MTs),
509 sekolah menengah atas (SMU),
249 sekolah menengah kejuruan (SMK),
171 madrasah aliyah (MA),
55 pondok pesantren,
32 universitas,
52 sekolah tinggi,
45 akademi,
3 pendidikan politeknik,
312 rumah sakit dan poliklinik,
240 panti asuhan,
19 bank perkreditan rakyat (BPR),
190 baitut-tamwil (BMT),
808 koperasi, dan
4 Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM).

Periodisasi Kepemimpinan Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan 1912-1922
KH Ibrahim 1923-1934
KH Hisyam 1935 - 1936
KH Mas Mansur 1937 - 1941
Ki Bagus Hadikusuma 1942 - 1953
Buya AR Sutan Mansur 1956
H.M. Yunus Anis 1959
KH. Ahmad Badawi 1962 - 1965
KH. Faqih Usman 1968
KH. AR Fachruddin 1971 - 1985
KHA. Azhar Basyir, M.A. 1990
Prof. Dr. H. M. Amien Rais 1995
Prof. Dr. H.A. Syafii Ma'arif 1998 - 2005
Prof. Dr. HM Din Syamsuddin 2005 – 2010

Khittah Perjuangan Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan (organisasi kemasyarakatan) yang mengemban misi da'wah amar ma'ruf nahi munkar senantiasa bersikap aktif dan konstruktif dalam usaha-usaha pembangunan dan reformasi nasional sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya serta tidak akan tinggal diam dalam menghadapi kondisi-kondisi kritis yang dialami oleh bangsa dan negara. Karena itu, Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasarkan pada khittah perjuangan sebagai berikut:
Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".
Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.
Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar.
Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.

Tiga Identitas Muhammadiyah
  • Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al Qur'an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riel dan kongkrit.
  • Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, Amar Ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar untuk meluruskan kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan keterbelakangan atau kebodohan massif.
Tidak hanya ranah pemahaman agama yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi kemasyarakatan.
  • Muhammadiyah sebagai Gerakan Taj’did (Reformasi)
Ciri ketiga ini yang melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau pembaharu. Apabila dari makna dalam segi bahasa Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti yakni :
a. pemurnian
b. peningkatan, pengembangan, modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih.
Sedangkan arti “Peningkatan, pengembangan, modernisasi” tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an dan AS Sunnah shahih.
Di samping itu ternyata bila diamati Muhammadiyah mempunyai PR untuk menjawab tantangan zaman dan arus globalisasi yang terus melaju.
Pemurnian (Purifikasi)
Tugas/PR pertama Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah.
Peningkatan, pengembangan, modernisasi
Tak melenceng dari awal pemberdayan pemikiran sang pendiri Muhammadiyah maka sebagai tantangan zaman tugas/PR kedua Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah maupun amal usaha Muhammadiyah. Dan mengembangkan serta melebarkan sayap Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng kebodohan massif Muhammadiyah.
Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat up to date bukan berarti berganti baju untnuk beridentitas ideologi baru namun Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus modernisasi.